Kamis, 12 November 2009

Faktor-Faktor Penyebab Keterbelakangan dan Kemiskinan Masyarakat Nias

Dalam masalah Suara Yaahowu (yang tidak terbit lagi) no. 4 Tahun 1 September 1996, Juliman Harefa mengutuip Suara Yaahowu edisi perdana (yang penulis tidak miliki) yang merangkum 7 hal penyebab keterbelakangan Nias. Ketujuh hal tersebut adalah: (1) tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah, (2) cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal-hal baru, (3) mentalitas dan etos kerja yang kurang baik, (4) keadaan alam yang kurang mendukung, (5) keterisoliran secara geografis dari pusat, (6) tiadanya potensi atau produk andalan, (7) rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah.

Faktor-faktor di atas dapat diperdebatkan validitasnya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, terlihat hubungan kausal dan sirkuler (berputar-putar) antara beberapa factor. Sebagai contoh, faktor pertama (tingkat pendidikan yang rendah) bisa menjadi penyebab (kausa) dari faktor kedua (cara berpikir tradisional dan konservatif); tetapi bisa juga sebaliknya (ingat kasus: telur-ayam-telur). Menurut hukum kausalitas, sebenarnya kedua factor itu tidak setara: yang satu menyebabkan yang lain, maka kedua faktor itu sebenarnya bisa dan harus direduksi menjadi satu, sementara yang lain hilang. Tetapi proses reduksi tidak mungkin karena adanya sifat sirkuler itu. Dengan demikian, kedua faktor tersebut gugur dengan sendirinya.

Kedua, dan ini lebih serius sifatnya: ada tiga faktor yang merujuk kepada “pengkambinghitaman” alam, yakni faktor (4), (5) dan (6). Hal ini agak mengherankan, sebab berbagai kasus besar sepanjang sejarah dunia menunjukkan hal yang sebaliknya: alam yang sering mengganggu, mengambuk dan tidak bersahabat justru menjadi pemicu dan pendorong lahirnya kreativitas manusia sepanjang zaman, pendorong lahirnya ilmu dan teknologi yang memungkinkan manusia tidak saja berhasil menjinakkan alam tetapi juga menaklukkannya. Dua dari begitu banyak contoh dapat dikemukakan di sini: Jepang yang terletak di daerah gempa (seperti juga Nias) dan miskin sumber daya alamnya dan Australia modern yang lahir dari perjuangan “para orang buangan bangsa Eropa” yang menantang alam “terra incognita” Australia.

Memang, seperti dikemukakan van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1980), ada tahap kebudayaan yang disebutnya tahap ontologis di mana manusia pasrah pada alam, tahap di mana manusia mencari jawaban ‘seadanya’ dari pertanyaan yang sering mengusik eksistensinya setiap saat. Pada tahap itulah, misalnya, masyarakat meyakini kausalitas antara bunyi gendang, tambur atau kentong yang dipukul dengan menghilangnya gerhana bulan. Hal (baca: tahap) itu masih dialami masyarakat Nias pada tahun 1970an ke bawah, bahkan masih dijumpai di sana sini hingga saat ini. Persoalannya adalah kita, yang bangga disebut kaum “intelektual”, kaum “terdidik” seperti masih berada dalam tahap ontologis itu.

Ketiga, kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktor-faktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan). Faktor-faktor yang dikemukakan di atas terlalu sulit (kalau tidak mustahil) untuk dikuantifikasi, sehingga kita tidak akan pernah bisa memunculkan suatu rujukan bersama daripadanya. Dengan demikian, membicarakannya saja sudah akan menggiring kita ke dalam suatu perdebatan yang melingkar-lingkar dan tak berkesudaan.

Keempat, dengan menggugat 5 (yaitu faktor no 1, 2, 4, 5, 6) dari ke 7 faktor yang dikemukakan di atas, rangkuman tersebut menjadi tidak relevan. Namun terlepas dari argumen ini, faktor ke 7 (rendahnya kinerja dan budaya korup aparat pemerintahan di daerah) semestinya tidak dimasukkan menjadi salah satu faktor penyebab keterpurukan. Faktor ke 7 justru seharusnya menjadi asumsi dasar atau prakondisi pembangunan itu sendiri: pembangunan daerah dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah yang bersih, berkinerja tinggi, dan mempunyai visa dan misi yang jelas. Asumsi dasar atau prakondisi ini akan bisa direalisasikan oleh DPRD yang bekerja baik, jujur, berdedikasi tinggi, berwawasan luas, yang akan memilih untuk masyarakat Nias seorang pemimpin yang pada dirinya melekat asumsi dasar tadi.

Dalam kesempatan ini penulis mengemukakan beberapa hasil pengamatan dari hasil interaksi langsung dengan masyarakat yang menjadi ‘subjek’ dan sekaligus ‘objek’ amatan penulis. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan ada tujuh (tujuh) faktor radikal penyebab keterpurukan ekonomi masyarakat Nias. Faktor-faktor tersebut bukan hal-hal baru, bukan artifisial berupa hasil permenungan seorang ‘pengamat’, tidak juga asbtrak atau mengambang sifatnya. Sebaliknya, ia dengan mudah dapat diamati karena memancar dari wajah, diucapkan dengan lantang, terekspresikan secara bening dan polos, dan terkadang meluap dalam impuls-impuls kekecewaan yang ditunjukkan oleh masyarakat Nias dalam keseharian mereka.

Ketujuh faktor itu adalah: (1) perjudian yang merajalela, (2) biaya yang besar penyelenggaraan acara adat Nias, (3) kondisi usaha pertanian yang makin kritis, (4) pola ekonomi musim kemarau, (5) tiadanya lembaga keuangan terpercaya di desa-desa (6) harga barang-barang yang tak wajar, (7) minuman keras.

1. Perjudian yang merajalela
Barangkali saat ini agak ‘basi’ menuding judi sebagai salah satu penyebab kemiskinan masyarakat, karena untuk sementara (!) perjudian sudah merupakan “perihal masa lalu”. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa judi telah menjadi salah satu faktor penghancur kondisi sosial ekonomi masyarakat Nias yang paling efektif: ia merusak ekonomi, tatanan sosial dan mentalitas masyarakat. Berdasarkan penuturan seorang penjual kupon togel (toto gelap) kepada penulis, omzet penjualan sebesar Rp. 10 juta / malam di zaman boom nilam di suatu desa bukan sesuatu yang luar biasa. Dalam suatu perjalanan ke sebuah desa, supir kendaraan sewaan minta izin kepada penulis untuk berhenti sebentar karena ingin melihat nomor pelat kendaraan yang kebetulan terperosok ke dalam parit. “Mana tahu nomor polisi kendaraan tersebut membawa rejeki,” katanya sambil tersenyum puas. Fakta yang lebih menyedihkan lagi, ada aparat yang berbaju loreng di suatu desa dengan bangganya duduk-duduk di sekitar para penjudi “menyemangati” mereka yang sedang asyik beradu untung.

Kita tidak perlu meminta seorang ekonom untuk menghitung kehancuran ekonomis yang diakibatkan oleh judi; belum lagi ongkos sosial yang diakibatkannya seperti rusaknya generasi penerus, berantakannya tatanan nilai-nilai masyarakat (contoh kasus: pengurus gereja yang setiap minggu berdiri di depan mimbar mengkhotbahi jemaatnya, tetap setiap malam bersama jemaatnya membahas kode-kode togel).

Konsekuensi ril dahsyat yang diakibatkan judi hendaknya selalu menjadi peringatan bagi kita, dan terutama para penyelenggara pemerintahan di daerah untuk selalu waspada dan tidak lengah, sehingga ‘hantu’ ini tidak akan bangkit lagi. Agak ironis untuk senantiasa mendengung-dengungkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat di tengah situasi di mana faktor ril penghancur kesejahteraan masyarakat dibiarkan merajalela.

Seandainya saja pemerintah daerah agak ‘kreatif’, sebenarnya perjudian dapat diberantas secara efektif. Salah satu cara dari begitu banyak pilihan adalah: mengaitkan berbagai program pembangunan desa dengan ‘tingkat kebersihan’ suatu desa dari perjudian. Jangan sebaliknya, seperti diungkapkan sejumlah warga desa kepada penulis, bahwa di masa pengucuran dana IDT, judi pun merajalela karena uang IDT yang diterima ‘dipakai’ sebagai modal judi.

2. Biaya penyelenggaraan acara-acara adat yang besar
Biaya yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara-acara adat di Nias boleh dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab keterpurukan ekonomi masyarakat Nias. Perkawinan, kematian, kunjungan ke ‘si tengan bõ’õ’ adalah contoh-contoh konkrit perhelatan adat yang membawa konsekuaensi ekonomi yang serius. Seorang warga dalam suatu perbincangan santai dengan penulis menyampaikan dengan sedikit bangga bahwa pada masa “boom nilam”, dia berhasil menikahkan seorang puteranya dengan biaya sebesar Rp 25.000.000- “Itulah bekas yang masih melekat pada keluarga saya dari usaha nilam,” sambil mengeluhkan bahwa kini kehidupan keluarganya begitu susah, hanya tergantung dari tetesan-tetesan getah pohon havea yang tidak lagi produktif. Pasca ‘boom nilam”, biaya pesta perkawinan “menurun” menjadi rata-rata 12 – 20 juta. Tidak mengherankan bahwa perkawinan menjadi pintu gerbang menuju kemiskinan bagi tidak sedikit masyarakat desa di Nias. Hal yang sama dijumpai pada upacara-upacara adat yang lain, semisal “kematian orang tua”. Tidak jarang, demi menjaga harga diri keluarga di mata masyarakat, anggota keluarga yang ditinggalkan tidak segan-segan meminjam uang dengan bunga tinggi atau menggadaikan barang-barang berharga yang dimiliki, seperti tanah atau tanaman kepada para rentenir desa.

Persoalan ini agak sensitif sifatnya karena menyangkut budaya yang telah begitu mengakar. Namun terhadap hal ini, sesuatu harus dilakukan, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan manusiawi kepada masyarakat akan bisa meluluhkan kekerasan hati mereka dalam kebiasaan ini.

Ini tidak berarti bahwa sebuah keluarga ‘dilarang’ mengeluarkan biaya besar untuk menikahkan putra/putirnya. Bukankah di kota-kota besar juga kita biasa menyaksikan biaya pesta perkawinan yang mencapai puluhan atau seratusan juta? Masalahnya adalah: biaya itu seharusnya disesuaikan dengan tingkat ekonomi keluarga yang terlibat. Lagi pula, pesta yang melibatkan orang-orang Nias yang relatif sudah maju, seharusnya meniru pola pesta di daerah-daerah lain, yang melibatkan kedua belah pihak (keluarga pengantin laki-laki dan perempuan) untuk membiayai pesta. Dengan demikian kelihatan juga bahwa kemajuan pola pikir dan keluasan wawasan berpengaruh terhadap tradisi secara positif.

3. Kondisi Usaha Pertanian/Peternakan Yang Makin Kritis
Hingga sekitar awal 1970an, kondisi tanah pertanian di Nias masih sehat dan kaya akan hara yang dibutuhkan tanaman, baik persawahan maupun perkebunan. Hal ini terlihat dari melimpahnya hasil-hasil pertanian saat itu. Panen ubi kayu atau ubi jalar misalnya, selalu menghasilkan umbi yang besar dan bermutu baik; hal yang kontras dengan keadaan sekarang di mana orang menanam ubi, bukan lagi untuk mendapatkan umbinya tetapi hanya untuk mendapatkan daunnya untuk makanan ternak. Demikian halnya dengan usaha persawahan yang akhir-akhir ini dirasakan sebagai beban ketimbang peluang ekonomi oleh kebanyakan warga karena berbagai faktor: ketidaksuburan tanah, merajalelanya hama yang terlalu sulit untuk dikendalikan, serta harga-harga sarana produksi pertanian yang tak terjangkau oleh masyarakat.

Kondisi yang sama menyedihkan terjadi pada usaha peternakan, khususnya peternakan babi, yang menjadi produk andalan daerah Nias hingga tahun 1960an. Untungnya (atau ironisnya) inisiatif untuk menggerakkan dan mengangkat kembali potensi ini lebih banyak diambil alih oleh lembaga swadaya masyarakat (lebih tepat: lembaga swadaya yang dikelola oleh lembaga keagamaan), sementara inisiatif pemerintah daerah yang memiliki dinas khusus untuk itu sangat minim (hampir tidak ada). Dari pengamatan langsung ternyata bahwa barulah melalui lembaga swadaya tadi para peternak mengenal vaksinasi secara cukup meluas.

4. Sistem Ekonomi Musim Kemarau
Sistem ekonomi musim kemarau dimaksudkan sebagai sistem perekonomian masyarakat Nias yang mengandalkan pendapat dari karet yang hasilnya hanya dapat diperoleh pada musim kemarau. Dalam sistem ekonomi musim kemarau, masyarakat hidup dalam dua “musim”: musim kemarau yang diasosiasikan dengan masa dapur mengepul dan musim hujan yang diasosiasikan dengan paceklik. Sistem ekonomi musim kemarau secara tak sengaja telah menyeret masyarakat Nias ke dalam kehidupan ekonomi yang melingkar: ia tak pernah melewati level kehidupan yang layak. Andaikan pun berlangsung kemarau panjang, pada periode mana para petani karet mendapat penghasilan yang lebih dari cukup, mereka seperti tak berdaya menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk bekal pada musim hujan. Secara terus terang beberapa petani mengaku bahwa “musim hujan yang panjang telah membuat kami begitu menderita, sehingga ketika musim kemarau tiba, malau mbalõma, (artinya mereka ‘balas’ dengan ‘bersenang-senang’ ketika uang cukup atau bahkan berlebih.

Pimpinan daerah periode mendatang harus melakukan sesuatu terhadap ‘sistem ekonomi musim kemarau’ ini. Ia harus bisa memutus siklu ini atau sekurang-kurangnya memperkenalkan cara penanganan yang secara gradual tetapi meyakinkan akan bisa memutus siklus itu.

5. Tiadanya lembaga keuangan yang menampung tabungan masyarakat di desa-desa
Selama puncak krisis moneter antara akhir 1997 hingga awal 1998, ternyata masyarakat tani Nias meraup begitu banyak uang dari ‘rejeki nomplok’ nilam yang harganya melambung tinggi secara tiba-tiba. Sayang, tidak ada inisiatif dari pemerintah daerah untuk memanfaatkan momentum ini untuk menggalakkan tabungan masyarakat. Akibatnya, masyarakat mengalami shock yang luar biasa dengan uang yang begitu banyak. Uang yang banyak itu menguap begitu saja untuk berbagai hal yang sangat tidak produktif: judi, mabuk-mabukan, belanja barang yang tak perlu, dan sebagainya. Seandainya saja saat itu ada himbauan (bahkan kalau perlu ‘paksaan’) untuk menabung, maka mungkin masyarakat kita tidak semelarat sekarang ini, atau minimal: belajar dari keadaan itu untuk selalu menyisihkan sebagian dari pendapatannya saat ini untuk bekal masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Kita tidak dapat menyalahkan masyarakat desa dalam hal ini. Ketrampilan mereka mengelola uang sangat terbatas, yang diakibatkan antara lain oleh rendahnya pendidikan dan juga karena terbatasnya aktivitas ekonomi di desa. Tetapi penyebab utama sebenanrnya ialaha tiadanya lembaga keuangan yang terpercaya (bukan rentenir) seperti bank yang menjangkau desa-desa. Dengan demikian, masyarakat desa hanya mampu mengelola keuangannya secara tradisional: membeli tanah, meminjaman uang, atau menambah konsumsi. Akibatnya, pendapatan lebih masyarakat tidak pernah dimanfaatkan untuk mengantisipasi paceklik, apalagi untuk meningkatkan kemampuan berusaha.

Pengamatan faktual di lapangan menunjukkan bahwa umumnya “kejayaan ekonomi” masyarakat desa pada umumnya hanya pertahan selama satu generasi, artinya kemakmuran ekonomi orang tua tidak dapat diteruskan ke dan oleh anak-anaknya, apalagi cucu-cucunya. Hal ini terkait dengan ‘manajemen keuangan tradisional’ tadi.

6. Harga barang-barang yang tak wajar
Secara kebetulan penulis mendapati bahwa harga barang-barang tertentu di toko-toko Gunungsitoli bisa mencapai dua kali lipat dari harga barang yang sama di Medan. Ini berarti, masyarakat Nias ‘dipaksa’ membeli barang dengan harga yang tidak wajar. Sebagai contoh, pompa air listrik untuk keperluan rumah tangga dengan kapasitas 125 watt bisa mencapai Rp. 250.000.- di Gunungsiotli sementara di Medan, bisa didapat dengan harga Rp 110.000 – Rp 125.000.- (kondisi harga awal Maret 2000). Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah Pemda menerapkan pajak yang begitu tinggi kepada pedagang atau pengusaha, ataukah pedagang yang mengambil keuntungan yang ‘mencekik’ masyarakat? Ataukah pedagang mengeksploitasi secara maksimal ‘keluguan’ orang-orang desa sehingga mematok harga barang semaunya? Hal yang terakhir ini ternyata klop dengan penuturan masyarakat, bahwa pada masa ‘boom nilam’ harga barang-barang liar tak terkontrol. Pedagang bisa saja berdalih bahwa hukum ‘permintaan dan penawaran’ dengan mudah menjelaskan hal ini. Akan tetapi hal ini tidak dapat diterima akal sehat, karena dalam keadaan kondisi normal pun (tingkat permintaan yang normal) hal itu tetap menjadi praktek sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian amat serius dari pemerintah daerah, karena melalui praktek dagang yang abnormal ini, masyarakat Nias secara langsung telah dikurangi daya belinya secara drastis yang berarti ‘pemiskinan’ masyarakat secara terang-terangan.

Hal ini juga berkaitan langsung dengan maju tidaknya usaha pertanian di Nias. Melambungnya harga berbagai sarana produksi pertanian dan peternakan akan membuat petani Nias malas mengusahakan lahan pertanian dan peternakannya.

7. Minuman Keras
Di samping beo Nias, barangkali faktor lain yang membuat Nias dikenal adalah minuman keras. Minuman keras bagi produsennya adalah sumber penghidupan, tetapi bagi yang lain merupakan sumber malapetaka. Ia menjadi pembunuh yang tak mengenal ampun yang akhirnya meinggalkan begitu banyak janda tak berdoa. Bukan itu saja, ia langsung mempengaruhi produksitivitas ekonomi sebuah keluarga atau sebuah desa.

Kuantifikasi pengaruh faktor-faktor di atas
Kuantifikasi dari pengaruh langsung faktor-faktor di atas terhadap pendapatan per kapita masyarakat Nias dapat dilakukan. Sebagai contoh, studi terhadap pengaruh faktor judi terhadap kemerosotan pendapatan masyarakat dengan mudah dapat dilakukan melalui wawancara. Tanpa terlalu banyak bersusah payah, para istri atau anak akan dengan mudah ‘melaporkan’ berapa ayah atau suaminya ‘menilep’ uang hasil penjualan karet, coklat, atau nilam setiap minggu. Hal yang sama dapat dilakukan untuk meneliti dampak faktor-faktor lain terhadap pendapatan per kapita masyarakat desa.

Pengakuan kita
Barangkali pertanyaan sinis berikut akan telontar: Apakah pembenahan di bidang pendidikan, prasarana jalan, irigasi, pembangunan akhlak, mental, moral, dsb tidak diperlukan ? Bukankah faktor-faktor yang dikemukakan penulis di atas hanya ‘bagian kecil’ dari permasalahan pembangunan daerah Nias? Ada sejumlah jawaban terhadap pertanyaan ini. Pertama, faktor-faktor yang dikemukakan di depan ibarat benalu yang sedang menggerogoti ‘pohon pembangunan Nias’. Selama benalu tersebut masih hidup dan berkembang subur, pohonnya akan sulit berkembang, bahkan tinggal menunggu kematian. Kedua, keterpurukan masyarakat Nias sudah sedemikian parah sehingga hal-hal yang bersifat ideal untuk sementara tidak relevan. Ketiga, kemampuan dan kesungguhan penyelenggara pemerintah daerah untuk melaksanakan program pembangunan akan dengan mudah dinilai dari kemampuannya mengatasi hal-hal ‘kecil’ sebagaimana dikemukakan di atas, di mana beberapa di antaranya tidak memerlukan ‘dana proyek’ yang besar.

Jadi, sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah bersarasehan, berseminar dan sebagainya untuk ‘menghimpun berbagai konsep pemikian”, untuk “menyamakan visi dan persepsi”, untuk “menyusun strategi” … dan segala macam aksi ‘intelektual’ lainnya. Permasalahan telah ada di depan mata, sebagaimana diuraikan di depan, yang menunggu aksi nyata kita. Yang perlu adalah pengakuan kita semua bahwa inilah masalah yang sedang kita hadapi bersama, dan bahwa di masa lalu kita seringkali menutup mata terhadapnya. Bahkan, untuk menghindar dari rasa bersalah, kita seringkali memformulasikan kembali faktor-faktor tersebut sedemikian sehingga menjadi sesuatu yang abstrak sifatnya, tidak lagi ‘seadanya’ karena kita bungkus dan kemas dengan istilah-istilah ‘ilmiah’ yang malah melahirkan keracnuan-kerancuan baru.

Formula 5 D
Dengan sedikit kreatif dan proaktif, persoalan-persoalan di atas bukan mustahil dapat diatasi. Strategi khusus tidak dibutuhkan untuk menanganinya, sebab faktor-faktor di atas nyata, kasat mata dan dampaknya dirasakan langsung setiap hari oleh masyarakat Nias. Persoalan utama (atau secara positif: modal utama) adalah: niat yang baik, cara pendekatan yang baik, perencanaan program pembangunan serta implementasi yang baik. Dari pihak masyarakat, modal utama itu ada dan amat besar, yaitu: masyarakat Nias sudah lama berharap agar keterpurukan ini segera berakhir.

Siapapun yang akan menjadi Bupati Nias periode mendatang kelak, akan menghadapi berbagai tantangan karena begitu rumitnya masalah pembangunan di daerah Nias. Maka janganlah ia berpretensi akan mampu menyelesaikan berbagai masalah itu dalam periode kepemimpinannya. Demi efektivitas, dia harus berani menetapkan prioritas-prioritas yang tajam dengan mempertimbangkan dan mengelola secara optimal sumber daya yang ada dan sangat terbatas itu. Dan memang, di sinilah kuncinya: ia harus bisa mengidentifikasi masalah, merumuskan masalah dan menawarkan solusi masalah. Ia tak akan pernah bisa memecahkan masalah apabila ia sendiri belum bisa mengidentifikasi dan merumuskan masalah secara jernih dan tepat. Beberapa faktor yang dikemukakan di depan dapat ditanggulangi tanpa harus mengeluarkan begitu banyak biaya, tetapi pengaruhnya diyakini cukup besar terhadap usaha mengangkat masyarakat Nias dari keterpurukan yang berkepanjangan.

Bagi Bupati periode mendatang dan jajarannya, yang terpenting adalah menerapkan formula 5D dalam melaksanakan amanat rakyat Nias, yaitu: Datang, duduk, Diam, Dengan, dan Dukung (bukan Duit).

Datang
Datanglah kepada masyarakat, kunjungilah mereka, sapalah mereka secara manusiawi. Tetapi jangan datang hanya saat menjelang pemilu misanya, sebab mereka tahu: Bapak Bupati mau kampanye (bohong) lagi, menjanjikan ‘matahari’ atau ‘bulan’. Datanglah di saat-saat mereka sangat membutuhkan: ketika wereng coklat menyerang persawahan mereka, ketika ternak mereka mati massal, ketika jembatan di desa mereka ambruk (sambil menjelaskan secara jujur mengapa ambruk – dan sebisa mungkin, jangan menuding alam). Jangan menunggu mereka datang dengan segala keluh-kesah di depan gerbang pendopo, sebab mereka penuh lumpur yang kotor yang menyebarkan bau yang menyengat.

Duduk
Jangan hanya datang dan berdiri sebentar “berhalo ria’ lalu pulang. Tetapi duduklah bersama mereka di tempat keseharian mereka: di pematang sawah, di kandang babi, di depan kolam ikan mereka, bukan di kursi yang telah disiapkan di balai pertemuan desa.

Diam
Diamlah, tinggallah bersama-sama dengan mereka, artinya datanglah dengan ketulusan, bukan sekedar basa-basi dan sediakanlah cukup waktu untuk mengenal dan dikenal secara akrab oleh mereka.

Dengar
Apabila mereka sudah betul-betul yakin bahwa yang datang, duduk, dan diam bersama mereka adalah “sahabat” dan bukan “penguasa” yang menakuti-nakuti atau membentak mereka, barulah masyarakat Nias mulai berbicara terbuka, polos dan terus terang. Pada saat itulah: dengarkanlah mereka. Mereka muak dengan petunuk-petunjuk, nasehat-nasehat serta pengarahan-pengarahan yang biasa disampaikan dalam ruang pertemuan desa. Ingat, mereka selama ini sudah begitu banyak dikuliahi, maka kini biarlah mereka memberi ‘kuliah’. Hanya dengan cara ini, Anda mengetahui apa masalah, ganjalan, kekecewaan, keinginan dan harapan mereka. Maka pancaran wajah polos mereka akan mengatakan ini: selamatkan kami dari judi, turunkan harga barang agar mampu kami beli, pulihkan kesuburan lahan pertanian kami, sediakan obat-obatan untuk ternak kami, putus siklus ekonomi musim kemarau yang membuat kehidupan kami berjalan di tempat, larang minuman keras agar suami dan anak-anak kami jangan mati muda, dirikan bank atau lembaga keuangan yang terpercaya (bukan rentenir dengan bunga tinggi yang mendorong kami untuk meminjam dan meminjam terus) di desa kami … dan seterusnya.

Bagi mereka, Anda adalah segala-galanya. Dan bagi Anda, mereka bukanlah beban ! Mereka harus menjadi sumber inspirasi dalam menyusun konsep pembangunan Anda dan langkah-langkah implementasinya.
oleh : E.Halawa

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com