Jika kita mengikuti perkembangan terakhir terutama pada minggu kedua bulan Juli, tepatnya pada tanggal 11 Juli 2006, ada satu undang-undang yang disahkan oleh DPR dan dianggap sebagai satu tonggak perubahan di Indonesia, yaitu UU Kewarganegaraan. UU ini menggantikan UU tahun 1958 yang dianggap kadaluwarsa dan tidak sesuai dengan semangat jaman. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia bukan penganut dua kewarganegaraan atau tambah kewarganegaraan. Tetapi dalam UU baru ini ada bagian yang menjelaskan tentang diperbolehkannya secara terbatas warga negara Indonesia memiliki 2 kewarganegaraan. Pada kesempatan kali ini Perspektif Baru kedatangan seorang tamu yang pernah mengalami masa-masa sulit saat mengurus kewarganegaraan anaknya, yaitu Ibu Yetty Agus. Berdasarkan pengalaman beliau ini kita akan melihat apa sebenarnya perbedaan UU yang baru dengan UU yang lama. Kita harapkan pengalaman ini menjadi bahan pelajaran agar hal yang sama tidak terulang di masa-masa yang akan datang, sehingga UU baru ini bisa efektif dan bisa mengubah kondisi kita.
Semangat UU ini cukup progresif untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan di Indonesia. Setelah terbitnya UU No. 12 tahun 2006, Menkumham mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Kawil Hukum dan HAM di Indonesia. Isi dari surat tersebut adalah tentang Pendataan Pemukim Turun Temurun di Indonesia. Melalui pendataan ini, diharapkan warga Tionghoa yang statusnya masih “digantung” oleh berbagai peraturan diskriminatif dapat diselesaikan sehingga seluruh anak bangsa Indonesia dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Produk akhir dari pendataan tersebut adalah Akte Lahir, KTP dan KK.Pendataan ini, juga melibatkan Departemen Dalam Negeri yang melalui Dirjen Adminduk juga telah mengeluarkan surat mengenai Pendataan Pemukim, kepada seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota. Bahkan sebagai wujud implementasi dari UU No. 23 tahun 2006 yang berkaitan erat dengan UU No. 12 tahun 2006, pada tanggal 11 Juni dan 22 Agustus 2007 Widodo A.S selaku Mendagri Ad Interim telah mengeluarkan surat mengenai Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran dan Dispensasi Administrasi Kependudukan.
Namun sayang UU yang baik tidak dibarengi pelaksanaan yang sungguh-sungguh di lapangan. Ada kesan bahwa aparat di tingkat bawah masih enggan melaksanakan pendataan bagi para pemukim ini, padahal dalam UU No. 12 tahun 2006 terdapat delik sanksi pidana penjara maksimum 3 tahun bagi para pejabat yang menghambat seseorang memperoleh kewarganegaraan. Political will dari pemerintah pusat hingga ke jajaran Direktur Tata Negara dan Dirjen Adminduk sangat jelas dan tegas bahwa masalah kewarganegaraan ini harus segera diselesaikan sejalan dengan usaha untuk melakukan tertib kependudukan. Indonesia yang telah berpenduduk 220 juta orang, hingga hari ini belum memiliki data kependudukan yang valid.
0 komentar:
Posting Komentar